Gubernur
baru Jakarta Bapak Ir. Jokowi sepertinya sedang menghadapi sedikit
dilema masalah pembangunan 6 ruas tol di Jakarta. Di satu sisi beliau
punya visi canggih tentang "Jakarta Baru", di sisi lain beliau harus memperhatikan semangat besar para pengusaha tol untuk mencetak laba baru. Sedangkan rakyat sudah menolak pembangunan jalan tol baru ini yang merupakan konsep lama yang "sukses" bikin Jakarta jadi ruaarrr biasa macet. Jadinya rakyat Jakarta akhirnya memilih pemimpin baru deh, pemimpin-pemimpin baru yang lebih nggemesin, lebih ngangenin.. punya konsep baru untuk Jakarta masa depan.
Sementara Bapak Jokowi dan Pak
Ahok melakukan analisis yang lebih dalam, mari kita bantu Pak Jokowi
kita untuk lebih memantapkan perjuangan beliau demi Jakarta masa depan,
dan Indonesia masa depan. Inilah alasan-alasan utama, yang masih bisa
ditambah, untuk kenapa jalan tol baru tidak perlu dibangun.
1. KONSEPJADUL, TIDAK VISI "JAKARTA BARU"
Ide tol ini dibuat oleh birokrat-birokrat era Foke yang berpikiran persis, seperti Foke, auto-oriented development. Intinya, solusi macet, adalah penambahan jalan, secara kontinyu. Yang ini of course yang bikin Jakarta akhirnya di 2014 bisa deadlock karena intinya : jalan
makin ditambahi, makin dipenuhi mobil. Sampai pada satu titik, sistemnya akan
kolaps. Kota masa depan adalah kota yang sudah sukses dan akhirnya
berani melepaskan ketergantungannya dari jalan raya dan kendaraan
pribadi, menciptakan berbagai dis-insentif bagi kendaraan pribadi, dan
bermacam insentif untuk transportasi umum.
Kota masa depan berfokus pada
kombinasi strategi sistem transportasi masal yang berkualitas tinggi
dan menyenangkan, mixed-use development, area residensial vertikal yang berdekatan atau terintegrasi dengan perkantoran dan pusat bisnis, dan transit oriented development. Itulah Jakarta masa depan yang unggul, yang maju, menyenangkan.
Coba kita belajar dari kota terbaik di dunia, The Best Cities in the World, Curitiba di Brazil dengan gubernurnya yang nggemesin dan
dicintai 99% warganya, pak Jaime Lerner, yang jalan raya saja bukan
ditambah tapi malah dikurangi, dijadikan jalan-jalan untuk pedestrian.
Dan Seoul yang justru mbongkar jalan layang di Cheonggyecheon. Jalan kok bukan ditambah, malah dikurangi? aneh ya?
Rua XV de Novembro (15th of November Street)
di pusat kota Curitiba Brazil.
Tadinya Jalan raya, lalu ditutup menjadi pedestrian.
Silakan juga pelajari konsep kota "Smart Growth" dan "Intelligent Urbanism" (lihat saja di google dan Wiki dulu ya).
2. PROYEK BISNIS SWASTA, MINDSETNYA BUKAN KEBAIKAN PUBLIK
Proyek
6 Ruas Tol ini dibuat oleh perusahaan-perusahaan. Walaupun mereka juga
orang-orang baik, tapi perusahaan orientasinya laba, bukan kemaslahatan
publik secara umum. Sebagai perusahan yang berorientasi laba, wajar mereka berusaha
menjual benefit proyeknya kepada stakeholders, tapi tujuan
utamanya tetap laba akhir tahun, bukan kepentingan rakyat. "Kepentingan
rakyat" biasanya mereka rancang hanya buat make-up, polesan-polesan lipstick, dan strategic marketing demi melancarkan proyek.
3. H I G H W A Y H E L L, PARADOX TOL
Enak kan jalan-jalan ke Bandung sekarang? Lewat tol yang wueeenak banget, maknyusss, dari Jakarta wuuussssss langsung sampai Bandung. Tapi Bandungnya malah jadi kayak gitu kan? Apalagi kalo namanya libur panjang. It's terrible, it's nightmare, it's not good living. Apakah jalan tol Jakarta-Bandung salah? Ya dan tidak, tergantung dari beberapa sisi.
Jalan tol baru dalam kota yang lebar dan "imagenya" cepat (padahal kan ndak?), adalah super-stimulan, super-insentif bagi
terus bertambahnya mobil-mobil baru, dan penambahan kapasitas industri
mobil. Dengan tol-tol baru orang akan "merasa" makin nyaman
naik mobil pribadi. Jadinya bukannya makin lancar, tapi efeknya malah jadi
bikin tambah macet lagi. Ini yang terjadi di seluruh kota dunia,
termasuk di Amerika dan China yang highwaynya begitu buaaanyak, begitu lebar.
Karena semua orang termasuk
Amerika naiknya kendaraan pribadi, karena tol enak buat naik mobil
pribadi, dan jalan-jalan yang dibangun fokusnya pada mobil pribadi.
Inilah paradoxnya, the highway hell. Gampang kan logic-nya? Lalu, warga juga tetap merasa tidak perlu pake busway, wong jalannya lebar. Jadi program busway akan tetap tidak efektif, dan Jakarta Baru akan gagal dan makin macet. Lho, kok tetap tambah macet? Hehe. Hayo, siapa nih yang mau tanggung jawab?
Shenzhen city, Provinsi Guangdong China, Oktober 2012
4. PARADOX BISNIS TOL, CATCH-22.
Bisnis Tol hanya akan profit kalau, only if, Jakarta makin dipenuhi mobil
pribadi. Makin ramai, makin terus bertambah mobil pribadi, perusahaan
tol akan makin untung. Kalau pemakai mobil pribadi berkurang, justru
rugi khan? Apalagi mereka harus mengembalikan investasi Rp 40 Triliun!
Berapa banyak mobil mau dimasukin? Apalagi terus idenya tol digabung
sama angkutan masal, dipotong sepertiga jalurnya. Pendapatannya dipotong
sepertiganya? terus profitnya mana? Pengurangan mobil pribadi dan
bisnis tol adalah sebuah Catch-22, sebuah problem logika dimana
masalah yang sebuah solusinya kelihatan bagus, tapi outputnya justru
menegasikan, bahkan mengkontradiksikan logika awalnya.
Apa pemecahan geniusnya? Perbanyak
transportasi masal, perbanyak jalur pedestrian, malah kalau perlu
kurangi jalan mobil. Orang kepaksa naik bis, naik kereta, naik MRT, atau
jalan kaki, jadi sehat, bugar, tidak ada macet, tidak polusi. Eureka!
5. LEBIH HEBAT HASILNYA BILA MEMPERBANYAK ALAT TRANSPORTASI ULTRA-MODERN
Lebih bagus kalau dari ujung ke
ujung Jakarta warga pakai transportasi umum yang bagus, cepat, dan anti
macet. Lebih bagus kalau antar kota, ada highway yang lebih fokusnya kendaraan umum, tinggal duduk nyaman, tahu-tahu tempe (baca : tau-tau nyampe)...
Kalau hanya sepersekian dana triliunan seperti itu digunakan untuk
membangun angkutan masal yang modern, efeknya sangat besar dan
revolusioner. Jakarta/Indonesia akan punya bis-bis modern sebagus
Singapura or even better, sekelas negara-negara maju dunia, dan
bahkan juga bisa digratiskan untuk rute-rute tertentu atau waktu-waktu
tertentu. Transportasi Jakarta akan memiliki armada transportasi
berkelas dunia yang canggih, modern, super efisien, mengkilat,
cemerlang. Kereenn!! Indonesia masa depan sudah dimulai di Jakarta!
6. TOL LAYANG ITU NGANGGU PEMANDANGAN !
View itu penting buat kenyamanan, ketenangan batin, dan tentu saja, nilai properti. Tol ini juga akan
dibangun sebagai jalan layang, jadi berada di atas. Ini akan membuat
rumah-rumah dan bangunan di bawahnya akan terganggu view dan mataharinya. Bayangkan rumah anda berada di bawah jalan tol! Tidak bisa lagi melihat langit yang biru yang indah... no sunset, no sunrise, no sunshine, no moon and stars, aseli
cuma tiang beton.. Bayangkan kalau yang terkena dampak seperti ini
pejabat-pejabat PU yang kita cintai! Nilai rumah jelas akan drop,
belum lagi tempat-tempat usaha bisa turun labanya bahkan merugi. Dengan
pembangunan 6 tol sepanjang 70 km, berapa rumah dan tempat usaha yang
harus dikorbankan?
7. "MAKAN TEMPAT"
Tol
yang lebar dan panjang akan menghabiskan banyak tempat, yang selain
benefitnya tidak ada, juga akan mengurangi ruang-ruang yang punya
potensi besar menjadi ruang publik yang menyenangkan, seperti
taman dan beragam ruang kreatif. Pemerintah Korea Selatan punya
pengalaman yang baik tentang ini yaitu revitalisasi sungai
Cheonggyecheon. Disana jalan layang malah dibongkar, sungai dibawahnya
direvitalisasi jadi public space yang woooww, keterlaluan indahnya!!!
8. NGEREPOTIN !
Pertama, bikinnya repot. Kedua, berapa banyak rakyat yang harus dipindah, dan digusur. Ketiga,
rakyat yang digusur untuk
kepentingan perusahaan yang mau mengejar laba, apa mereka ndak akan
marah nih? Ini bisa memunculkan resistensi yang beresiko lho.
9. DI JAKARTA BARU, PENDAPATAN INVESTORNYA HARUS 40 TRILYUN + ?
Ups, ini yang akan paling bikin pusing para investor. Seriously.
Jakarta baru dalam 3-5 tahun kedepan, sudah mulai bukan kota mobil lagi.
Pemilik mobil memang bisa terus bertambah karena
pertumbuhan ekonomi Indonesia tinggi. Tapi sebentar lagi semua warga
Jakarta, termasuk pemilik mobil sudah mulai shift ke transportasi-transportasi umum. Lah, lalu bagaimana profit tolnya dong? Pertama, transportasi umum Jakarta akan bagus, canggih dan menyenangkan, haltenya modern, berdesain modern dan sophisticated, rindang ditanami pohon, ber-AC, beberapa akan ada kedai Starbucksnya yang super trendy. Orang pelan-pelan akan mulai kerasan naik transportasi umum. Lalu siapa yang mau pakai tol? Kedua, konsep kotanya juga mulai berubah menjadi mixed-use areas,
dimana orang akan tinggal, bekerja dan belanja di tempat yang
berdekatan. Apartemen-apartemen modern dan rumah susun akan makin banyak
dibangun dekat pusat-pusat bisnis. Orang ke kantor dan belanja tinggal
jalan kaki saja ndak naik mobil. Jadi intinya, pemakai mobil
di 3-5 tahun ke depan akan terus berkurang, sementara investor mau
membangun proyek Rp 40 triliun, untuk pemakai mobil? Dari mana untungnya ?
10. UANG 40 TRILIUN BISA DIPAKAI LEBIH CANGGIH, LEBIH STRATEGIS
Uang 40 Triliun bisa dipakai untuk banyak hal lain yang lebih canggih, seperti pembangunan konsep kawasan Mixed-use dengan taman kota yang sangat luas, yang akan mempunyai efek seperti Central Park di
Manhattan, yang tidak saja menjadi tempat yang sangat menyenangkan bagi
warga, memicu kreatifitas, bahkan mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan
dimana Manhattan yang dulunya rawa-rawa kumuh dan kandang babi, berubah
menjadi kawasan paling super-premium di seluruh dunia! (keren ndak Boss?). Kawasan-kawasan mixed-use selain
super menguntungkan, juga betul-betul sejalan dengan ide penciptaan
kota masa depan. Dana seperti ini juga bisa digunakan untuk hal-hal lain
yang lebih visioner untuk Indonesia, misalnya pembangunan perpustakaan
terbesar di dunia, dan pusat sains dan teknologi tercanggih di dunia
yang meniru Epcot Center (yang tentu juga sangat menguntungkan).
Yang pertama akan mendorong terciptanya jutaan warga yang
berintelejensia tinggi, menciptakan kota cerdas, Intelligent City, dan bangsa cerdas, Intelligent Nation. Yang kedua akan menciptakan rakyat Indonesia baru yang high-technology minded, seperti Korea, Jepang, dan China. Wuihh, hebat ya?
Jadi kesimpulannya...
Jalan-jalan baru, termasuk penambahan tol itu memang selalu jadi
fatamorgana bagi kota, gadis nakal berbaju merah, obat placebo yang
membuat banyak kota-kota di dunia, termasuk Jakarta terlena, misguided, dan akhirnya gagal total di masa lalu. Apakah tidak boleh tambah jalan baru? Boleh, tapi hanya dalam jumlah terbatas yang tidak akan menstimulir perbanyakan mobil baru, artinya, yang 70% fokusnya adalah transportasi masal, bukan 70% mobil pribadi. Mudah ya?
Sekarang kita mau bikin Jakarta yang samasekali baru kan? Jakarta dengan mindset baru
yang revolusioner dan berani seperti Curitiba, seperti Singapura, dan
Seoul. Jakarta baru sekarang harus berjuang untuk visinya yang baru,
yang tidak akan semudah dan seenak bikin jalan baru, tapi harus
melakukan shifting mindset besar-besaran termasuk bagi warganya, sehingga Jakarta bisa menjadi lebih baik, lebih reasonable,
dan akhirnya berubah jadi kota masa depan yang lebih menyenangkan. Mari
kita berjuang untuk Jakarta baru. Jakarta Baru, adalah Indonesia Baru!
Selamat berjuang pemimpin-pemimpin baru Indonesia, Jokowi-Ahok!
Salam, Eko Laksono, penulis buku Metropolis Universalis.