Resolusi
L. Wilardjo
Kompas, Senin 2 Januari 2006
Resolusi ialah ketetapan hati.
Itu adalah kebulatan tekat untuk mengambil sikap, melakukan tindakan, serta menunjukkan perilaku baru yang berbeda dengan yang sudah-sudah. Lazimnya yang baru ini lebih baik daripada yang dulu.
Tahun Baru sering dipakai untuk menetapkan resolusi bagi diri sendiri. Pada orang-orang yang menjalani hidupnya dengan sadar dan serius, resolusi biasanya didahului oleh perenungan yang mendalam dan doa yang khusyuk. Kita mohon perkenan Tuhan agar kita diberi-Nya kemauan keras dan ketegaran iman untuk mengatasi kelemahan kita. Agar kita tak tergelincir oleh godaan untuk menyimpang dari resolusi kita.
Tekad Nasional
Resolusi juga dapat ditetapkan secara nasional. Presiden JF Kennedy mencanangkan tekat bahwa anak bangsa Amerika akan mencapai bulan sebelum akhir dasawarsa 1960-an. Tekat itu terwujud saat Neil Armstrong dan Edwin Aldrin menapakkan kakinya di bulan tahun 1969.
Sebelumnya, Amerika berkebulatan tekat untuk membuat bom atom lebih dulu dari Jerman. Itu juga tercapai dengan sukses uji coba proyek Manhattan-nya J Robert Oppenheimer di Gurun Alamogordo, menjelang akhir Perang Dunia II di kawasan Asia Pasifik.
Ketika Ronald Reagan mewarisi Amerika yang compang-camping dari Jimmy Carter, ia mencanangkan Proyek Perang Bintang. Dalam kemunduran ekonomi yang parah, pajak justru diturunkan untuk menggerakkan sektor riil. Strategic Defence Initiative (Prakarsa Pertahanan Strategik) yang dijuluki Kartika Yuda (Star Wars) juga memicu kegairahan luar-biasa dalam litbangtek (technological R & D). Maka, Amerika pun mencuat sebagai negara adidaya.
Berusaha Mati-matian
Keberhasilan menggenapi tekat yang telah diikrarkan itu tidak lepas dari kerja keras habis-habisan. Tidak ada ungkapan "panas-panas tahi ayam" bagi bangsa yang besar itu.
Begitu pula dengan semangat bushido dan tekat samurainya, bangsa Jepang menggarap Restorasi Meiji yang dicanangkan di masa bertakhtanya Kaisar Matsuhito.
Jepang tak mau kalah maju dengan Barat. Segala daya dan dana dikerahkan untuk menimba iptek dari Eropa. Dari sebuah negara tertutup yang diwarnai persaingan berdarah di antara para shogun penguasa perang (warlords) yang dijumpai Komodor Perry di dasawarsa awal, abad ke-19, Jepang muncul sebagai negara modern yang sejajar dengan negara-negara Barat yang maju.
Bulan-bulanan Nasib
Menetapkan suatu resolusi dan secara konsisten berusaha mewujudkannya adalah hal yang positif. Ini lebih baik daripada melaksanakan apa yang disebut Lili Tjahyadi sebagai Kebijaksanaan Doris Day (Kompas, 29/12/2005). "Apa pun yang akan terjadi, (pasti) akan terjadi. Kita tak bisa melihat masa depan." (Whatever will be, will be. The future's not ours to see).
Sepintas lalu nyanyian Doris Day ini mengungkapkan kepasrahan orang beriman, tetapi sebenarnya tidak. Doris Day melantunkan fatalisme, yakni sikap menyerah kepada nasib, seperti warga Thebes dalam tragedi-tragedi Sophocles dengan tokoh-tokohnya, Oedipus, Jocasta, Creon, Antigone, dan sebagainya. Banjir bandang dan tanah longsor diterima dengan sabar-tawakal dan tidak membangkitkan kemarahan kepada pembabat hutan yang menggunduli punggung bukit.
Iman harus dicerminkan dalam amal perbuatan. Berserah dalam iman tidak berarti berpangku tangan dan mimpi mendapatkan rezeki nomplok. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tidak akan terberantas hanya dengan istighotsah dan zikir massal, tanpa dibarengi dengan perjuangan nyata. Dan usaha nyata itu tidak berhenti dengan pencanangan kata-kata, tetapi harus terus-menerus dilakukan dengan konsisten. Bahkan, resolusi yang lebih baru lagi, seperti memberantas KKN dengan semangat "bersama kita bisa", pamornya sudah mulai pudar.
"Restorasi Meiji" yang dilakukan BJ Habibie dengan memajukan iptek, menetapkan industri-industri strategis, membangun kapet-kapet, dan mengirim anak- anak muda yang cerdas ke luar negeri untuk menempuh pendidikan sampai aras S3 tidak berhasil. Mengapa? Antara lain karena tidak ada konsistensi dalam kebijakan pemerintah. Anak-anak muda itu kebanyakan berhasil dalam studinya, tetapi pemanfaatannya amburadul.
Demikian pula kita belum melihat konsistensi dalam tekat untuk menjadikan kelapa sawit sebagai "primadona" agroindustri dan agrobisnis Indonesia. Tekat untuk mengalahkan Malaysia di bidang perkelapasawitan dan untuk memakai produk-produk kelapa sawit sebagai pengentas 50 persen dari rakyat miskin dalam sepuluh tahun juga terancam bernasib "panas-panas tahi ayam".
Dari enam bidang yang telah ditetapkan sebagai fokus penelitian yang akan didanai Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, kelapa sawit tidak disebutkan secara spesifik. Mungkin semua itu karena presiden dan menristeknya sudah ganti.
Ora et Labora
Agaknya di awal tahun 2006 kita perlu memperbarui kebulatan tekat kita sebagai bangsa. Masokisme intelektual yang dikeluhkan Komaruddin Hidayat dan fatalisme yang disiratkan lagu Doris Day harus dihapus dan diganti dengan resolusi yang tegas tetapi realistik, artinya sesuai dengan taraf kemampuan kita.
Resolusi itu juga harus berarti ora et labora (berdoa dan bekerja), dan doa kita seperti doa Donald M McKay: "Oh, Lord, teach us to accept the unalterable, but not to be complacent in the face of the alterable." ("Ya, Allah, ajarlah kami untuk menerima takdir, tetapi tidak berpuas diri menghadapi hal-hal yang dapat diubah.")
Tahun Baru sering dipakai untuk menetapkan resolusi bagi diri sendiri. Pada orang-orang yang menjalani hidupnya dengan sadar dan serius, resolusi biasanya didahului oleh perenungan yang mendalam dan doa yang khusyuk. Kita mohon perkenan Tuhan agar kita diberi-Nya kemauan keras dan ketegaran iman untuk mengatasi kelemahan kita. Agar kita tak tergelincir oleh godaan untuk menyimpang dari resolusi kita.
Tekad Nasional
Resolusi juga dapat ditetapkan secara nasional. Presiden JF Kennedy mencanangkan tekat bahwa anak bangsa Amerika akan mencapai bulan sebelum akhir dasawarsa 1960-an. Tekat itu terwujud saat Neil Armstrong dan Edwin Aldrin menapakkan kakinya di bulan tahun 1969.
Sebelumnya, Amerika berkebulatan tekat untuk membuat bom atom lebih dulu dari Jerman. Itu juga tercapai dengan sukses uji coba proyek Manhattan-nya J Robert Oppenheimer di Gurun Alamogordo, menjelang akhir Perang Dunia II di kawasan Asia Pasifik.
Ketika Ronald Reagan mewarisi Amerika yang compang-camping dari Jimmy Carter, ia mencanangkan Proyek Perang Bintang. Dalam kemunduran ekonomi yang parah, pajak justru diturunkan untuk menggerakkan sektor riil. Strategic Defence Initiative (Prakarsa Pertahanan Strategik) yang dijuluki Kartika Yuda (Star Wars) juga memicu kegairahan luar-biasa dalam litbangtek (technological R & D). Maka, Amerika pun mencuat sebagai negara adidaya.
Berusaha Mati-matian
Keberhasilan menggenapi tekat yang telah diikrarkan itu tidak lepas dari kerja keras habis-habisan. Tidak ada ungkapan "panas-panas tahi ayam" bagi bangsa yang besar itu.
Begitu pula dengan semangat bushido dan tekat samurainya, bangsa Jepang menggarap Restorasi Meiji yang dicanangkan di masa bertakhtanya Kaisar Matsuhito.
Jepang tak mau kalah maju dengan Barat. Segala daya dan dana dikerahkan untuk menimba iptek dari Eropa. Dari sebuah negara tertutup yang diwarnai persaingan berdarah di antara para shogun penguasa perang (warlords) yang dijumpai Komodor Perry di dasawarsa awal, abad ke-19, Jepang muncul sebagai negara modern yang sejajar dengan negara-negara Barat yang maju.
Bulan-bulanan Nasib
Menetapkan suatu resolusi dan secara konsisten berusaha mewujudkannya adalah hal yang positif. Ini lebih baik daripada melaksanakan apa yang disebut Lili Tjahyadi sebagai Kebijaksanaan Doris Day (Kompas, 29/12/2005). "Apa pun yang akan terjadi, (pasti) akan terjadi. Kita tak bisa melihat masa depan." (Whatever will be, will be. The future's not ours to see).
Sepintas lalu nyanyian Doris Day ini mengungkapkan kepasrahan orang beriman, tetapi sebenarnya tidak. Doris Day melantunkan fatalisme, yakni sikap menyerah kepada nasib, seperti warga Thebes dalam tragedi-tragedi Sophocles dengan tokoh-tokohnya, Oedipus, Jocasta, Creon, Antigone, dan sebagainya. Banjir bandang dan tanah longsor diterima dengan sabar-tawakal dan tidak membangkitkan kemarahan kepada pembabat hutan yang menggunduli punggung bukit.
Iman harus dicerminkan dalam amal perbuatan. Berserah dalam iman tidak berarti berpangku tangan dan mimpi mendapatkan rezeki nomplok. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tidak akan terberantas hanya dengan istighotsah dan zikir massal, tanpa dibarengi dengan perjuangan nyata. Dan usaha nyata itu tidak berhenti dengan pencanangan kata-kata, tetapi harus terus-menerus dilakukan dengan konsisten. Bahkan, resolusi yang lebih baru lagi, seperti memberantas KKN dengan semangat "bersama kita bisa", pamornya sudah mulai pudar.
"Restorasi Meiji" yang dilakukan BJ Habibie dengan memajukan iptek, menetapkan industri-industri strategis, membangun kapet-kapet, dan mengirim anak- anak muda yang cerdas ke luar negeri untuk menempuh pendidikan sampai aras S3 tidak berhasil. Mengapa? Antara lain karena tidak ada konsistensi dalam kebijakan pemerintah. Anak-anak muda itu kebanyakan berhasil dalam studinya, tetapi pemanfaatannya amburadul.
Demikian pula kita belum melihat konsistensi dalam tekat untuk menjadikan kelapa sawit sebagai "primadona" agroindustri dan agrobisnis Indonesia. Tekat untuk mengalahkan Malaysia di bidang perkelapasawitan dan untuk memakai produk-produk kelapa sawit sebagai pengentas 50 persen dari rakyat miskin dalam sepuluh tahun juga terancam bernasib "panas-panas tahi ayam".
Dari enam bidang yang telah ditetapkan sebagai fokus penelitian yang akan didanai Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, kelapa sawit tidak disebutkan secara spesifik. Mungkin semua itu karena presiden dan menristeknya sudah ganti.
Ora et Labora
Agaknya di awal tahun 2006 kita perlu memperbarui kebulatan tekat kita sebagai bangsa. Masokisme intelektual yang dikeluhkan Komaruddin Hidayat dan fatalisme yang disiratkan lagu Doris Day harus dihapus dan diganti dengan resolusi yang tegas tetapi realistik, artinya sesuai dengan taraf kemampuan kita.
Resolusi itu juga harus berarti ora et labora (berdoa dan bekerja), dan doa kita seperti doa Donald M McKay: "Oh, Lord, teach us to accept the unalterable, but not to be complacent in the face of the alterable." ("Ya, Allah, ajarlah kami untuk menerima takdir, tetapi tidak berpuas diri menghadapi hal-hal yang dapat diubah.")
No comments:
Post a Comment