Indonesia, Korsel, dan Visi 2030
Syamsul Hadi
Kompas, Kamis, 03 Mei 2007
Sebelum terlontarnya Visi 2030, sejarah pasca kemerdekaan Indonesia telah silih berganti diwarnai lontaran visi pembangunan. Setelah visi pembangunan Soekarno yang bombastis, pemerintahan Orde Baru hadir dengan visi pembangunan yang mengadopsi teori Big Push dari WW Rostow. Diproyeksikan, setelah melampaui lima tahap pembangunan lima tahun (Pelita), Indonesia akan mencapai kondisi "tinggal landas" (take off) pada akhir Pelita ke-5 atau tahun 1993.
Kondisi "tinggal landas" merujuk kesiapan suatu negara untuk "terbang lepas" menuju ke arah kesejajaran dengan negara-negara maju. Tahun 1997, empat tahun seusai dianggap telah "tinggal landas", ekonomi Indonesia "hancur" diterjang krisis Asia. Korea Selatan (Korsel), Malaysia, dan Thailand segera berbenah, bangkit, dan kini mereka kembali diperhitungkan dalam tataran regional dan internasional.
Indonesia dan Korsel
Sebagai negara paling lambat bangkit dari krisis Asia, keberanian untuk mencanangkan Visi 2030, yang memproyeksikan Indonesia masuk limabesar ekonomi termaju di dunia pada tahun 2030, terhitung "nekat". "Kenekatan" itu perlu diimbangi analisis dan skenario yang historis,kontekstual, dan bukan semata wishful thinking.
Keberhasilan Korsel untuk menjadi anggota OECD pada tahun 1996 merupakan pengakuan keberhasilan pembangunan negeri itu, yang mendudukkannya sejajar dengan negara-negara yang lebih dulu maju. Indonesia maupun Korsel sama-sama merdeka seusai Perang Dunia II. Memiliki kekayaan alam yang minim dibandingkan dengan Indonesia, infrastruktur ekonomi warisan Jepang di Korsel bahkan hancur akibat Perang Korea 1952-1954.
Mirip Indonesia, Korsel baru berkonsentrasi pada pembangunan ekonomi sejak tahun 1960-an saat Jenderal Park Chung-hee duduk di tampuk kekuasaan. Para analis beraliran kulturalis melihat dua kunci keberhasilan pembangunan di Korsel.
Pertama, obsesi pemerintah dan masyarakat untuk selalu menjadi yang terdepan serta merasa tabu menjadi pecundang. Semboyan "beat Japan everywhere" menandakan semangat seluruh bangsa Korsel untuk mengalahkan Jepang sebagai bangsa dengan industri termaju di Asia.
Kedua, pemimpin dan rakyat Korsel umumnya adalah individu yangpragmatis, tidak terlalu dibebani bias ideologi. Pragmatisme yang menyertai penyusunan dan implementasi kebijakan mengarahkan seluruh sarana yang dimiliki untuk pencapaian visi dan tujuan pembangunan, dengan implementasi yang rasional dan terukur.
Dari sisi pandang strukturalis, Alice Amsden (1992) menggarisbawahi tiga kunci keberhasilan pembangunan Korsel, yaitu: (1) kepemimpinan politik atau negara/pemerintah yang kuat; (2) visi dan perencanaanp embangunan yang sistematis; dan (3) aneka kebijakan dan anggaran pembangunan yang reasonable.
Berbeda dengan teoritisi dan praktisi pembangunan Indonesia yang amatpercaya pada mekanisme pasar (market mechanism), pemerintah dan intelektual di Korsel menyadari, menyerahkan arah pembangunan pada mekanisme pasar adalah menggelikan jika negeri itu berambisi mengejar kemajuan negara-negara lain yang lebih dulu maju.
Variabel kepemimpinan
Peran negara (state) merupakan hal yang tak tergantikan. Hanya negaralah yang mempunyai legitimasi, sistem organisasi dan daya paksa untuk mengarahkan sektor publik, korporasi, dan masyarakat untukbergerak menuju target pembangunan yang telah digariskan. 1
Dalam melakukan percepatan pembangunan, negara membutuhkan sosok pemimpin yang benar-benar kuat, visioner, dan capable. Ini lebih-lebih berlaku dalam masyarakat Asia yang cenderung paternalistik. Variabel kepemimpinan menjadi penting guna mewujudkan apa yang disebut Linda Weiss (1998) sebagai tranformative capacity, yaitu kemampuan untuk melakukan transformasi struktural yang dibutuhkan sebagai langkah maju sekaligus adaptif menghadapi dinamika domestik dan internasional.
Kepemimpinan yang kuat dan transformatif juga diperlukan guna membendung berbagai tekanan kelompok kepentingan dan clientelistic groups—dari dalam dan luar negeri—yang hendak membelokkan arah pembangunan menjauh dari tujuan esensial yang akan dicapai. Ini terkait dengan jaminan, "... (the) state agencies will pursue projects broader then the interests of any particular groups" (Weiss, 1998: 50).
Dengan demikian, agar Visi 2030 tidak berhenti sebatas mimpi, yang dibutuhkan bukan hanya kepemimpinan yang pintar berwacana dan berkemampuan seremonial tinggi. Diperlukan kepemimpinan dengan kecerdasan, kecermatan, dan determinasi yang tahan uji, selain memiliki "napas panjang" (endurance) yang dibutuhkan untuk mengontrol, mempercepat, dan mengarahkan pembangunan menuju pencapaian visi yang telah digariskan.
Pertanyaannya, punyakah kita kepemimpinan semacam itu?
No comments:
Post a Comment