Monday, July 23, 2007

ZAMAN KEBANGKITAN BESAR II





“et ipsa Scientia, Potestas est”
Francis Bacon, 1597.



Desember 2006.

New York Times melaporkan televisi pusat Cina, CCTV, mulai menayangkan program dokumenter berjudul “The Rise of Great Powers”. Program ini menganalisis 9 bangsa terkuat dalam sejarah dunia, dari era Portugis-Spanyol, sampai Amerika dan Jepang. Ini adalah hasil riset para ahli sejarah Cina, termasuk rangkuman opini para intelektual dunia dari Paul Kennedy (“Rise and Fall of Great Powers”) sampai Stiglitz (peraih Nobel ekonomi).1 Beberapa waktu yang lalu Cina masih terbelakang. Sekarang mereka ingin menjadi yang terunggul di dunia.

Abad 15, 500 tahun yang lalu, Eropa berubah dari bangsa-bangsa terbelakang menjadi peradaban unggul, Renaissance. Sampai abad 16, Inggris masih kacau balau, bahkan sempat dipecundangi gadis dusun dari Prancis, Jeanne d’Arc. Lalu peristiwa besar terjadi. Francis Bacon mengeluarkan “petuah dahsyatnya”, et ipsa Scientia Potestas est (Meditationes Sacræ, De Hæresibus, 1597). Atas dasar ini Inggris berubah menjadi penguasa dunia. 1868, Jepang yang terbelakang akibat politik isolasi Tokugawa, bangkit di era Restorasi Meiji (Meiji Ishin).

Indonesia menjelang akhir abad 19, Kartini, yang umurnya baru 20 tahun, dengan pemikirannya yang tajam memicu reaksi berantai di negeri Belanda dan tanah Nusantara. (Kartini;Biografi, Sitisoemandari). Politik Etis dijalankan. Manusia-manusia unggul mulai bermunculan. Berikutnya muncul Wahidin Sudirohusodo, Soetomo, Tjokroaminoto, lalu Sukarno-Hatta. Het wonder is geschied, Keajaiban terjadi. Indonesia bangkit menjadi salahsatu bangsa terbesar, dan paling kompleks dalam sejarah manusia.

Kebangkitan Besar telah banyak terjadi dalam sejarah dunia, juga Indonesia. Apa yang terjadi di sana? Apa kunci Renaissance, kemajuan Inggris, Restorasi Meiji, dan Kebangkitan Nasional Indonesia?

Inti Kebangkitan Sudah Diketahui

Kita tentu bisa melihat sejarah semua bangsa-bangsa besar. Proses Kebangkitan mereka. Ribuan buku juga telah ditulis tentang esensi dari kemajuan peradaban/bangsa. Sejak Gibbon (Decline and Fall, 1776), pertanyaan kenapa sebuah bangsa bisa bangkit, maju atau mundur menjadi populer. Toynbee (A Study of History) mengemukakan konsep challenge-response dan minoritas kreatif.

Ada yang membahasnya dari sisi ekonomi seperti Adam Smith, atau Porter (Competitive Advantage of Nations), ada juga Stiglitz dan Sachs. Kemajuan berdasarkan teknologi dipaparkan Jared Diamond, “Guns, Germs, and Steel”, atau Friedman (The World is Flat). Dari sisi social capital ada Francis Fukuyama (Trust) atau “Culture Matters” (Harrison/Huntington). Banyak yang spesifik membahas satu bangsa tertentu, “keajaiban” Jepang misalnya. Tapi semuanya hanya akan bersumber dari satu hal.

Bahkan Kartini pun sudah tahu apa rahasia Kebangkitan bangsa, begitu pula Sukarno-Hatta. Bukankah kemudian Indonesia bangkit menjadi bangsa besar?

Kesamaan Kebangkitan Dunia, dan Indonesia

Renaisans adalah era dimulainya transfer besar-besaran ilmu klasik Yunani dari Andalusia dan Konstantinopel. Seluruh Eropa belajar, dan bangkit. Skalanya makin revolusioner saat penemuan Mesin Cetak Gutenberg. Et ipsa scientia potestas est bermakna Pengetahuan adalah Kekuatan. Inggris mengembangkan sains sebesar-besarnya untuk mengalahkan para pesaingnya saat itu, Spanyol, Belanda, dan Prancis. Terjadilah Revolusi besar Sains dan Industri Inggris.

Semboyan terbesar Restorasi Meiji adalah Wakon Yosai, “Semangat Jepang - Pengetahuan Barat”. Bahkan dalam Meiji Charter Oath dinyatakan, “Pengetahuan akan dicari ke seluruh penjuru dunia dan dasar-dasar kekuasaan kekaisaran akan diperkuat”. Jepang belajar bukan untuk maju, mereka ingin mengalahkan Barat (Haiducek, Japanese Education, 1991).2

Kartini menyatakan “Pendidikan, sekali lagi Pendidikan adalah jalan keluar bagi semua masalah dan kesengsaraan bangsa.” Ia tahu Belanda sengaja menelantarkan pendidikan karena itulah kunci utama untuk melemahkan sebuah bangsa.3 Visinya begitu tajam hingga bahkan penasehat ahli Menteri Belanda, Mr. Slingenberg perlu meminta pendapatnya untuk menjalankan Politik Etis. (Lihat visi besar Kartini dari “Kartini;Biografi”, karya Sitisoemandari Soeroto, tidak dari “Habis Gelap Terbitlah Terang”).

Sukarno kembali menunjukkan bahwa yang mampu melepaskan bangsa dari jerat imperialisme hanyalah pendidikan unggul yang mampu membangkit-bangkitkan semangat, energi, dan kegagahan rakyat yang dahsyat. (Indonesia Menggugat, 1930, Kontra Kemunduran, Kontra Dekadensi Akal Budi).4 Pembelajaran yang unggul ini lalu juga dibakar oleh keinginan untuk merdeka, menghasilkan daya belajar yang dahsyat. Indonesia Merdeka, 17 Agustus 1945.

Kebangkitan Besar Indonesia II

Semua Kebangkitan Besar berujung pada satu hal. Revolusi pembelajaran berskala masif dalam kualitas dan intensitas yang tinggi yang akan menciptakan berjuta-juta manusia unggul. Belajar, akan menjadi fokus utama dari seluruh upaya bangsa itu, semua pemimpin dan rakyatnya.

Kadang revolusi besar ini dipicu oleh beberapa “manusia istimewa” (creative minority, promethean5). Tapi mereka bukanlah Ratu Adil yang “turun dari langit”, melainkan hasil akumulasi pembelajaran bangsa itu akhirnya mengkristal, termasuk pembelajaran tokoh-tokoh sebelumnya6 (seperti Sukarno–Tjokroaminoto-Samanhoedi).

Tantangan kritis yang terjadi (Golden Means, Toynbee, biasanya ancaman terhadap bangsanya) justru mempertajam kepekaan sosial mereka dan mendorongnya untuk belajar dan berjuang habis-habisan, bahkan dalam skala yang heroik. Mereka lalu berjuang mentransfer segala ilmu, budaya dan kinerja unggul mereka kepada seluruh bangsanya.

Hasilnya, sebuah masyarakat baru yang berpengetahuan tinggi, kreatif, memiliki optimisme baru, mampu merespons tantangan, memanfaatkan teknologi, mempunyai keeratan sosial dan daya juang yang unggul. Energinya begitu dahsyat, tidak saja 1001 masalah yang tadinya terkunci rapat akan mulai terurai, tapi bangsa itu juga akan mulai mengalahkan bangsa-bangsa lainnya.

Inilah inti Kebangkitan Besar Peradaban. Dan hanya dari proses besar inilah Kebangkitan akan terjadi. Cara memulainya mudah, semua peradaban besar belajar dari proses Kebangkitan peradaban besar lainnya dan kebesarannya di masa lalu, seperti China diatas. Lalu proses belajar unggulnya diakselerasikan sampai akhirnya jumlah dan kualitas manusia-manusia unggul akan mencapai titik kritisnya, Critical Mass.

Dan seperti semua peradaban besar lainnya, bangsa Indonesia juga akan belajar, termasuk dari jaman kegelapannya. Kita dulu pernah mengalami Kebangkitan Besar (1908). Sekarang kita bisa mulai kembali belajar darinya, juga kebangkitan bangsa-bangsa besar lain, Barat, Jepang, Cina. Kita juga belajar dari Singapura, Malaysia, Korea Selatan, India. Dan satu hal penting. Bila kita dapatkan esensi semuanya, bukan tidak mungkin kebangkitan yang akan datang bahkan akan lebih besar dari sebelumnya. Sebuah Zaman Baru.

Inilah saatnya Indonesia mengulangi proses pembelajaran besarnya. Bangkitlah Indonesia, inilah saatnya Kebangkitan Besar kita.

Eko Laksono
20 Juli 2007





Referensi dan catatan:

1. Kahn, Joseph, "China, Shy Giant, Shows Signs Of Shedding Its False Modesty.", New York Times, 9 Dec. 2006.

2. Japanese Education Made in USA, Nicholas Haiducek, Praeger Publishers, 1991, hal 19.
“Education was a tool of the state to be used to turn out obedient, loyal, reliable subjects who could serve as the basis for the creation of a modern, powerful nation, second to none.”

3. Kartini sebuah Biografi, Sitisoemandari Soeroto, Djambatan, 2001, Hal 124
“Pendidikan sekali lagi Pendidikan oleh Kartini dianggap sebagai sebagai jalan keluar dari semua masalah bangsa… Kartini menyadari Belanda dengan sengaja menelantarkan pendidikan rakyat, agar rakyat tetap mau menggarap sawah dan tetap mau bilang “nun inggih” pada tiap perintah yang diberikan padanya… Pemerintah Hindia Belanda hanya bertindak sesuai dengan watak setiap kolonialis, yaitu membiarkan rakyat jajahannya berdegenerasi menjadi bodoh dan melarat, supaya dapat dijajah selama-lamanya. Lebih baik jangan dibuat pandai! Bangsa yang bodoh dan melarat dapat lebih mudah dikuasai daripada bangsa yang terdidik dan berpengetahuan tinggi.”

4. Indonesia Menggugat (1930), Bung Karno, Gunung Agung 2001, hal 128-129
“… maka rakyat kami (oleh kaum imperialis) dibikin rakyat yang ‘hidup kecil’ dan ‘nrima’, rendah pengetahuannya, lembek kemauan­nya, sedikit nafsu-nafsunya, padam kegagahannya, rakyat ‘kambing’ yang bodoh dan mati energinya…Kami, kaum PNI, mencoba memberantas penyakit ini dengan mengadakan lebih banyak pendidikan rakyat, menyokong sekolah-sekolah rakyat, mengurangi buta huruf di kalangan rakyat. Kami mencoba membangkit-bangkitkan dan membesar-besarkan kemauan rakyat akan nasib yang lebih memper-nasib manusia, menyalakan lebih banyak nafsu-nafsu di dalam kalbu rakyat. Kami berusaha menghidup-hidupkan lagi kegagahan rakyat, tenaga kemauan rakyat, energi rakyat sebagai sediakala, -rakyat yang kini ‘sudah mati kutunya itu’ … Energi rakyat inilah salah satu urat saraf pembentukan kekuasaan kami, -salah satu urat saraf penolak daya imperialisme, tetapi terutama sekali ialah urat saraf pendorong rakyat ke depan.”

5. Prometheus adalah Dewa yang memberikan kemampuan membuat api kepada umat manusia. Api adalah lambang kemampuan menciptakan sesuatu, teknologi. Api ini dicuri dari Zeus karena kepedulian Prometheus pada umat manusia dan karena Zeus sendiri tidak akan mau memberikan “kekuatan dewa” itu kepada manusia. Promethean adalah sebutan bagi manusia-manusia kreatif dan pemberani yang membawa pencerahan bagi orang lain.

6. Arnold J. Toynbee, A Study of History, Dell Publishing, New York, 1965, hal 606, The Creative Genius as a Saviour. Bahkan dalam zaman kehancuran manusia-manusia kreatif akan terus ada dan saling mempengaruhi satu sama lain.

“That the action which is an act of creation is always performed by a soul which is in some sense a superhuman genius… And that the action of the genius upon souls of common clay operates usually through the second-best expedient of a kind of social drill which enlists the faculty of mimesis (or imitation) in the souls of the uncreative rank and file and thereby enables them to perform “mechanically” an evolution, which they could not have performed on their own initiatives.”

“the change from growth to disintegration is not accompanied by any extinction of the creative spark. Creative personalities continue to arise...”.

“In primitive societies, mimesis is directed towards dead ancestors who stand, unseen but not unfelt, at the back of the living elders, reinforcing former prestige. On the other hand, in societies in process towards civilization, mimesis is directed towards creative personalities who command a following because they are pioneers. In such societies, the “cake of custom,” as W.H. Bagehot called it in his Physics and Politics, is broken.”


Catatan tambahan:

Adam Smith dikenal karena menolak segala bentuk campur tangan negara dalam perekonomian. Bahwa campur tangan negara akan selalu merugikan. Tapi dia justru sebaliknya mendorong campur tangan pemerintah dalam satu hal. Pendidikan. Baca “Wealth of Nations”:

Buku V, Bab 1, Bagian 3: Of the Expense of Public Works and Public Institutions.
“An instructed and intelligent people, besides, are always more decent and orderly than an ignorant and stupid one. They feel themselves, each individually, more respectable and more likely to obtain the respect of their lawful superiors, and they are therefore more disposed to respect those superiors. They are more disposed to examine, and more capable of seeing through, the interested complaints of faction and sedition, and they are, upon that account, less apt to be misled into any wanton or unnecessary opposition to the measures of government. In free countries, where the safety of government depends very much upon the favourable judgment which the people may form of its conduct, it must surely be of the highest importance that they should not be disposed to judge rashly or capriciously concerning it.”

Buku I, Bab 2
“The difference between the most dissimilar characters, between a philosopher and a common street porter, for example, seems to arise not so much from nature as from habit, custom, and education.”


No comments: