Tuesday, June 10, 2008


Sains, dan Pendidikan China Vs Kita
Ary Mochtar Pedju
Kompas, Kamis 24 November 2005



”Since 1978, China has been the world's most successful economy…. The engines of growth are still running strong…. The basic reason for the growth is specifically adopting the technologies of the leading innovating countries” (Jeffrey Sachs, The End of Poverty, 2005).

Pada dasarnya Sachs kagum dengan pembangunan di China yang dalam 20 tahun dapat mengurangi kemiskinan penduduknya lebih dari satu miliar, dari 64 persen (1981) menjadi 17 persen (2001).

Peran terpenting proses itu adalah pemanfaatan teknologi. Sachs ingin mengatakan, pembangunan di China berbasis sains dan teknologi. Meski slogan (partai) politik "berbanjar menuju sains" telah dikumandangkan lama, gong terpenting adalah ucapan politik Deng Xiaoping 1978, "bila China ingin memodernisasikan pertanian, industri, dan pertahanan, maka yang harus dimodernisasikan lebih dulu adalah sains dan teknologi dan menjadikannya kekuatan produktif!" (Ke Yan, Science and Technology in China, 2004).

SEZ

Sudah amat banyak dibahas tentang keajaiban dan kecepatan pembangunan China melalui proyek raksasa Special Economic Zones (SEZ) sepanjang pesisir timur China, dari selatan hingga utara sekaligus melambangkan reformasi dan keterbukaan China. Namun, yang tidak pernah disorot adalah bagaimana peran sains dan teknologi dalam investasi raksasa itu dimanfaatkan untuk mencerdaskan bangsa China sebagai kunci filsafat social market economy mereka. China memasukkan sains, teknologi, dan pendidikan ke grand design pembangunan nasionalnya. Mereka harus mencapai keadaan, menurut Ke Yan, economic construction must rely on science and technology, the scientific and technological work must serve economic construction….

Dalam bukunya, Sachs mengingatkan, untuk memfungsikan ekonomi dengan baik, diperlukan enam modal dasar dalam satu paket, yakni infrastruktur, human capital, knowledge capital, business capital, natural capital, dan public institutional capital, yang semuanya mengandung unsur sains dan teknologi di dalamnya.

Konstruksi Sosial

Bagaimana mewujudkan gagasan-gagasan itu? Ke Yan menginformasikan, sejak 1990-an Pemerintah China mengimplementasikan pentingnya "peremajaan dan revitalisasi negara melalui pengetahuan dan pendidikan".

Pengetahuan dan pendidikan menjadi motor penggerak primer berbagai tujuan, yaitu pengembangan ekonomi dan masyarakat, mengalihkan fokus pengembangan ekonomi agar bergantung pada kemajuan sains dan teknologi, meningkatkan kompetensi tenaga kerja, dan yang terpenting menciptakan kultur baru berbasis pengetahuan. Tugas berat ini dibebankan ke pundak Menteri Kebudayaan China. (Bandingkan dengan tugas Menteri Kebudayaan dan Pariwisata kita). Singkat kata, tanggung jawab dan tugas utama adalah "memopulerkan sains dan teknologi ke seluruh penjuru China".

Untuk menciptakan konstruksi sosial baru ini, praktis seluruh kelompok sosial harus dilibatkan, baik institusi-institusi pemerintah pusat dan daerah maupun —dan terutama— berbagai lembaga masyarakat, seperti kalangan media (koran, jurnal ilmiah/profesional, buku berbagai pengetahuan, televisi, internet), berbagai komunitas kota, dunia usaha, pendidikan, pertanian, kesehatan, dan tentunya masyarakat sains dan teknologi sendiri.

Undang-undang Tekad China menciptakan scientific culture diperkuat lahirnya undang- undang satu-satunya di dunia pada tahun 2002, "Science and Technology Popularization Law of the People's Republic of China".

Menteri Kebudayaan yang bertanggung jawab untuk itu mengoordinasikan menteri- menteri sains dan teknologi, pendidikan, serta kesehatan dan pertanian. Berbagai organisasi yang dilibatkan antara lain Asosiasi Sains dan Teknologi China, Akademi Ilmu Pengetahuan China, Asosiasi Wanita China, dan berbagai organisasi yang menjangkau kaum remaja China.

China tampaknya mengikuti pola evolusi/revolusi yang telah banyak ditulis para ahli sejarah, filsafat, sosiologi, sains dan teknologi dunia, di mana sejak akhir renaisans 500-an tahun lalu dunia mengalami revolusi sains lebih dulu, disusul revolusi teknologi- industri, lalu revolusi ekonomi. Kini, ke empat unsur ini telah kait- mengait tanpa sambungan (seamless).

India

Dalam bukunya, Jeffrey Sachs juga menulis kekagumannya tentang India, negara raksasa yang juga miskin, tiba-tiba meledak dalam ekonomi dunia dalam 15 tahun terakhir dengan pembangunan ekonominya yang mengandalkan teknologi tinggi, teknologi informasi (IT-based). Investasi utama India adalah pada pendidikan tinggi, saat mendirikan institut-institut teknologi sekitar 50-an tahun lalu. Langkah India saat itu dicemooh para ahli pembangunan. Mereka skeptis atas pilihan India, yang akhirnya menetapkan teknologi canggih sebagai strategi membangun.

India, yang kini telah memiliki lembaga pendidikan tinggi kelas dunia, hanya dalam 10 tahun (1990-2001) berhasil mengurangi kemiskinan dari 42 persen menjadi 35 persen.

Meski India masih merasa ketinggalan dari China, mereka berhasil mengembangkan home-grown technology, dan dengan cerdas memasukkannya ke dalam sistem ekonomi. Banyak yang dapat dipelajari dari keberhasilan China. Mereka telah bisa bertualang dengan teknologi baru dan tinggi. Oktober lalu mereka meluncurkan pesawat luar angkasa berawak, Shenzhou VI, yang mencengangkan dunia. Mereka dengan serius menaati tuntutan global tentang lingkungan hidup. Contoh, mereka mengklaim sebagai negara pertama yang berhasil menciptakan teknologi—batu bara—bersih untuk kebutuhan energi.

Menarik dipelajari bagaimana mereka membangun dengan bertumpu kecerdasan manusia, dan bagaimana mengelola kegiatan popularisasi sains serta menciptakan kultur baru. Namun, yang terpenting adalah bagaimana China berusaha melepaskan diri dari "perangkap kemiskinan" (poverty trap), yakni: karena tidak cerdas maka miskin, dan karena miskin tak mungkin cerdas.

Ary Mochtar Pedju
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)
Anggota Dewan Pendidikan Tinggi (DPT), Depdiknas

No comments: