SMP Alternatif Qaryah Thayyibah
Rahasia Sekolah Bermutu, Murah, dan Menyenangkan
Kompas, Rabu, 23 Maret 2005
BILA pada umumnya anak-anak
merasa bergembira bila sekolah libur atau pulang lebih awal, siswa SMP Alternatif Qaryah Thayyibah di Desa Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah, justru paling susah bila disuruh pulang dari sekolah. Padahal, jam belajar di SMP Alternatif Qaryah Thayyibah lebih panjang dibandingkan dengan sekolah-sekolah lain.
MASUK enam hari dalam seminggu, sekolah itu dimulai pada pukul 06.00 dan baru berakhir pada pukul 13.30. Jam belajar di sekolah yang cukup panjang itu rupanya belum cukup memuaskan bagi murid-murid sekolah itu.
Pulang sekolah, usai makan siang di rumah, anak-anak itu biasanya kembali ke sekolah. Di sekolah mereka bisa bermain, membuka internet, berlatih musik, atau belajar. Sekolah tidak pernah tutup. Tidak jarang anak-anak itu berada di sekolah hingga larut malam atau bahkan menginap di sekolah.
Bersekolah merupakan kegiatan yang menyenangkan bagi siswa SMP Alternatif Qaryah Thayyibah. Di sekolah, mereka bisa belajar sambil bermain. Mereka bahkan bisa mengerjakan soal-soal Matematika sambil bersenda gurau. Mereka bebas duduk di kursi atau di lantai. Bila lebih dahulu selesai, mereka bisa saja bermain monopoli di dalam kelas.
Bosan belajar di dalam kelas, mereka bisa mengusulkan kepada gurunya agar belajar di alam terbuka. Dalam interaksi semacam itu, antara guru dan murid seperti kawan sendiri. Guru-guru yang mengajar di Qaryah Thayyibah tidak pernah marah kepada murid-muridnya. Suasana belajar-mengajar di sekolah itu tidak pernah menegangkan. Bahkan, suasana belajar yang mereka bangun-baik di kelas maupun di alam terbuka-itu lebih mirip taman bermain ketimbang sebuah SMP.
"Sekolah di sini menyenangkan. Prestasinya banyak. Guru-gurunya sangat peduli. Kalau kami usul, langsung ditanggapi," kata Mustaghis Hilmy (14), siswa kelas II SMP Alternatif Qaryah Thayyibah. Rumah Hilmy adalah sekolah Hilmy. Ia merupakan anak pertama Bahruddin, pemimpin SMP Alternatif Qaryah Thayyibah.
Sekolah yang terdiri atas dua kelas dengan 24 anak itu menempati ruang depan rumah Bahruddin. Ruang itu sebelumnya dipergunakan sebagai Sekretariat Organisasi Tani Qaryah Thayyibah. Lokasi sekolah yang berada di dalam lingkungan desa membuat anak-anak tersebut tidak perlu jauh-jauh ke kota untuk belajar. Ketika pada pukul 06.00, saat anak-anak lainnya masih harus menempuh perjalanan ke sekolah, siswa SMP Alternatif Qaryah Thayyibah sudah berada di kelas untuk belajar Bahasa Inggris.
Kedekatan sekolah dengan rumah juga memungkinkan anak-anak petani sederhana itu memanfaatkan ongkos transportasi untuk kredit komputer, gitar, kamus, dan makanan bergizi. Tiap pagi anak-anak itu sarapan di sekolah. Selain itu, mereka juga memperoleh dua kali makanan kecil dan segelas susu madu. Pengelolaan sarapan dan makanan tambahan itu diserahkan kepada Mbok Laminah (53), penjual bubur yang tinggal di dekat sekolah.
"Nggih kulo mung bathi tumut nedi. Nek nombok nggih sering nombok," kata Mbok Laminah. Kata Laminah, ia merasa beruntung bisa ikut makan tiap hari meski tidak jarang untuk menyediakan sarapan dan makanan tambahan bagi anak-anak SMP Alternatif Qaryah Thayyibah, ia harus nombok.
Agak berbeda dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Pagi itu menu sarapan dengan lauk sayur daun singkong, tempe, dan bonus "rolade" yang ternyata berupa daun singkong goreng. Menu itu dibuat sendiri oleh anak-anak, sekaligus untuk mempraktikkan pengetahuan nutrisi yang menjadi kurikulum muatan lokal sekolah itu. Pelajaran nutrisi dan kesehatan diberikan oleh seorang dokter yang tinggal di desa tersebut.
SMP Alternatif Qaryah Thayyibah merupakan pengembangan dari konsep bersekolah di rumah, yang dalam istilah bahasa Inggrisnya populer disebut home schooling.
Sekolah di rumah sebetulnya mengandung sejumlah kelemahan, di antaranya anak kurang berinteraksi dengan kawan sebayanya. Sekolah di rumah akan semakin rumit ketika anak makin besar yang membuat orangtua tidak mampu lagi mengajarkan pelajaran sesuai usianya.
Kelemahan ini ditangkap oleh kalangan bisnis yang kemudian menawarkan jasa les privat atau kelompok belajar bersama. Dalam pola belajar semacam ini, sekolah di rumah pada akhirnya hanya akan dinikmati oleh mereka yang berkantong tebal.
Kekurangan-kekurangan itu bisa ditutupi dalam sistem sekolah yang ditawarkan oleh SMP Alternatif Qaryah Thayyibah. Di sini sekolah di rumah dikembangkan menjadi sekolah komunitas. Pada dasarnya anak-anak itu belajar bersama di sebuah rumah dengan didampingi oleh pembimbing.
Kompetensi formal seorang guru bukan menjadi syarat mutlak karena yang penting mentor menguasai materi yang diajarkannya. Dengan cara ini, anak-anak tetap bisa belajar dalam suasana keluarga, murah, dan kualitasnya pun terjaga.
Secara formal, SMP Alternatif Qaryah Thayyibah tercatat sebagai SMP terbuka. Menurut Bahruddin, dengan status tersebut, lulusan SMP Alternatif Qaryah Thayyibah bisa mendapatkan ijazah formal SMP seperti halnya siswa SMP reguler lainnya.
Bahruddin sengaja memilih menggunakan kurikulum nasional dalam pengajarannya. Pilihan itu berdasarkan alasan praktis. Menyusun kurikulum sendiri, kata Bahruddin, bukan hal yang gampang. Lagi pula, bila sekolah membuat kurikulum sendiri, belum tentu ada yang mau di sekolah itu. Dengan memakai kurikulum nasional, anak-anak tersebut dapat memperoleh ijazah yang dikeluarkan pemerintah. Kualitas sekolah juga akan diakui bila murid-muridnya dapat mengerjakan soal-soal tes sesuai dengan kurikulum nasional dengan nilai yang baik.
"Sebelum mampu betul menyusun kurikulum, kami memilih menggunakan kurikulum pemerintah. Mungkin 15 tahun lagi kami baru mampu membuat kurikulum sendiri," kata Bahruddin.
LANTAS, bila SMP ini menyebut dirinya sebagai sekolah alternatif, apanya yang alternatif?
Menurut Bahruddin, alternatif yang ia maksud itu terutama adalah pendidikan berkualitas yang bisa terjangkau oleh semua orang, termasuk masyarakat miskin. Pendidikan berkualitas tidak harus serba mahal, yang hanya bisa dijangkau oleh anak-anak orang kaya.
Meski murah, SMP Alternatif Qaryah Thayyibah bukan sekolah gratis. Ia meminta orangtua memberikan sumbangan untuk sekolah. Mereka bisa menyumbang berapa pun, bahkan nol sekalipun tidak masalah. Kenyataannya, ketika orangtua dibebaskan menentukan sumbangan, rata-rata mereka menyatakan kesanggupan menyumbang Rp 10.000 per bulan.
Pertanyaan yang menggelitik adalah bagaimana Bahruddin bisa menjalankan kegiatan sekolah alternatif ini?
Menurut Bahruddin, jumlah uang sumbangan sukarela dari para orangtua murid tadi kemudian digabung dengan subsidi yang diberikan kepada siswa SMP terbuka dari pemerintah sebesar Rp 20.000 per anak. Sementara akses internet diperoleh gratis dari pengusaha internet di Salatiga, Roy Budhianto.
Honor mengajar tiap guru ditetapkan Rp 25.000 per jam. Untuk dua kelas dengan jumlah 108 jam mengajar, harus dikeluarkan dana sejumlah Rp 2.700.000 per bulan.
Tidak ada lembaga dana yang dilibatkan untuk membiayai keberlangsungan sekolah ini. Bahruddin lebih suka menggunakan dana lokal sehingga ia memilih mengajukan bantuan anggaran melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Salatiga. Bahruddin menginginkan agar pemerintah membantu sekolah tersebut dengan pengadaan guru bantu, tetapi dengan cara mengangkat guru yang sudah bekerja di sekolah tersebut.
"Beban negara buat sekolah berkualitas sebenarnya tidak banyak," kata Bahruddin.
SECARA fisik dan konseptual, SMP Alternatif Qaryah Thayyibah menyatu dengan alam sekitarnya. Tidak ada pagar yang membatasi sekolah dengan lingkungan sekitarnya. Tidak ada pintu gerbang yang digerendel ketika anak bersekolah.
Lingkungan alam di sekitarnya dipergunakan sebagai laboratorium belajar. Sebuah kompor biogas yang diolah dari kotoran hewan dan manusia terang-terangan dipertontonkan kepada siswa untuk memasak.
Meski setia mengikuti kurikulum nasional, SMP Alternatif Qaryah Thayyibah juga menekankan semangat pembebasan, kreativitas, dan keberpihakan kepada orang miskin. Guru dan siswa tidak ditempatkan dalam hubungan guru yang mengajar dan murid yang belajar, tetapi merupakan bagian dari sebuah tim.
Murid, guru, dan masyarakat desa dijalin dalam persahabatan. Orangtua yang menyekolahkan anak-anak di sekolah itu tiap bulan duduk bersama dengan guru dan pengelola sekolah untuk bertukar pikiran tentang penyelenggaraan sekolah.
"Kesatuan inilah yang akan membongkar citra bahwa sekolah itu dingin, tak berjiwa, birokratis, seragam, asing bagi kaum miskin di pedesaan, dan membosankan bagi guru dan siswa," kata Bahruddin.
Belajar dalam suasana yang menyenangkan merupakan cetak biru SMP Alternatif Qaryah Thayyibah. Menurut Bahruddin, ukuran keberhasilan pendidikan pertama-tama adalah bila anak senang belajar dan bisa belajar dengan senang. Karena itu, bila sekolah tidak bisa memberikan rasa nyaman, keberhasilan anak untuk belajar sudah terkurangi sampai 50 persen. Proses pembelajaran, kata Bahruddin, harus dibangun berdasarkan kegembiraan murid dan guru.
Dwi Nuryanti (26), guru Bahasa Inggris SMP Alternatif Qaryah Thayyibah, mengambil peran penting di sekolah tersebut. Ia yang mendesain materi yang diberikan dalam sesi English Morning, yang selalu menjadi kegiatan pembuka di sekolah tersebut.
Meski di desa, anak-anak tersebut dilatih untuk bisa mendengar, berbicara, membaca, dan mencoba menulis dalam bahasa Inggris. Bahkan anak-anak itu akan diperkenalkan dasar-dasar TOEFL. Target yang cukup ambisius itu tidak dirasakan sebagai beban oleh murid-muridnya karena semua dilakukan dalam suasana yang menyenangkan. Tiap hari Sabtu anak-anak diajak berdiskusi dalam bahasa Inggris di alam terbuka.
Satu keinginan masih dikejar Nuryanti. "Saya pengin sekali ada native speaker," katanya. (P Bambang Wisudo/Rien Kuntari).
1 comment:
sangat inspiratif....mungkin bisa di kasihkan kontak personya mas Eko...saya tertarik sekali...Thx atas bantuanya
Post a Comment